Cita-cita Reformasi dan Demokrasi Kita Hari Ini

Rabu, 14 Agustus 2019 17:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiga hal yang membuat praktik demokrasi hari ini terasa sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998.

PADA tahun-tahun awal setelah reformasi saya merasa seperti berada dalam adegan ulang sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Banyak hal mendasar dipertanyakan kembali. Rasanya semua orang pintar dan peduli urun rembug. Menulis opini dan analisa di koran-koran. Sebagian saya kliping. Saya mengikuti semuanya dari kamp di hutan utara Kalimantan.

Diperdebatkan apakah kita perlu pemilihan wakil-wakil dan presiden langsung? Ada yang bilang kita belum siap, ada yang bilang coba aja kita tak pernah akan siap. Ada yang bilang rakyat belum dewasa berdemokrasi, ada yang katakan, justru dengan mencoba kita akan terdewasakan.

Sistem perwakilan apakah dengan sistem distrik? Proposional tertutup? Atau proporsional terbuka? Apakah perlu ada lembaga penyeimbang bagi wakil rakyat semacam lembaga dua kamar membagi senat dan parlemen? Dibicarakan juga soal konsep otonomi daerah sebagai koreksi dari sistem sentralistik yang terasa jumud di ujung kuasa Orba dan di awal reformasi itu.

Lalu pers diberi hadiah UU Pers yang baru, yang konon adalah regulasi pers terbaik di dunia. Pemilu dipersiapkan. Partai-partai baru dibentuk. Banyak sekali. 141 partai. Meskipun akhirnya hanya 48 partai yang bisa ikut pemilu. Kehidupan politik bergairah. Cuaca demokrasi baru memberi harapan.

Pemilu 1999 pun sukses. Tujuh partai dengan perolehan suara teratas adalah PDI Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan.

Semunya memainkan peran dan warna politik tanah air pascareformasi. Meskipun PK kala itu tak lolos ambang parlemen dan kemudian berganti nama pada pemilu selanjutnya.

Tempo terbit lagi. Saya berlangganan lewat seorang kawan di Jakarta, kantor pusat perusahaan tempat saya bekerja. Majalah dikirim segepok-segepok, beberapa edisi.

Partai politik dan politisi mengambil alih teraju perkembangan demokrasi. Dan bagi saya harapan akan datangnya perbaikan dari gelombang reformasi sudah mengandung dan mengundang kecewa sejak semula.

Bukan reformasinya yang salah, tapi perilaku politisinya yang mudah lupa apa yang menyebabkan reformasi itu menjadi kebutuhan. Tiga hal yang mudah dilupakan: korupsi, kolusi, nepotisme.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk. Tapi koruptor tak kenal kapok. Bupati, menteri, dan bahkan ketua DPR pun jadi koruptor. Kolusi pengusaha dan pejabat, juga legislator yang memegang banyak kuasa, dimainkan untuk keuntungan pribadi dan kelompok sendiri.

Saya merasa perlu menyebut dan mengingat itu karena itulah pangkal dari buntunya praktik demokrasi di negeri kita berulang kali. Korupsi, korupsi, nepotisme, berkait kelindan dengan politik dan itu artinya soal bagaimana demokrasi dipahami dan dipraktikkan.

Saya berpihak sepenuhnya pada kelompok yang menginginkan dan mempertahankan agar proses demokratisasi yang sudah kita tempuh ini dilanjutkan. Tak ada tempat untuk pemikiran mundur. Apalagi menggantikan ideologi, bentuk, dan sistem yang sudah disepakati ini dengan model-model lain.

Kita memang harus sabar. Tak ada proses mencapai kemajuan yang cespleng. Semua bangsa punya traumanya sendiri. Punya masa-masa buruknya sendiri. Ada yang lolos dari lorong gelap itu dengan babak belur. Ada yang muncul menjadi bangsa yang lebih kuat. Kita juga pernah melewati semua itu dan sejauh ini kita semakin kuat.

Kalau mau dicari apa sebenarnya yang salah dengan perpolitikan yang mempengaruhi kualitas demokrasi kita hari ini? Saya ingin menandai beberapa hal:

Pertama, lambatnya kaderisasi. Nama-nama yang bermain di panggung dan di belakang panggung politik kita hari ini, masih orang-orang yang sama dengan mereka yang berseliweran di awal reformasi bahkan di akhir orde baru.

Kita lihat betapa sulitnya jalan seorang Joko Widodo ketika ia didorong masuk ke kontestasi pilpres 2019. Setelah dia menang pun, karena massifnya serangan buruk (perilaku politik yang tak pantas dipertahankan), keberhasilannya datang sebagai nama dan sosok baru seakan gagal membawa iklim demokrasi yang lebih baik.

Kedua, pragmatisme partai. Nyaris tak ada hal-hal ideologis yang berbeda. Nyaris tak ada agenda penting yang ditawarkan kepada rakyat. Sebagai contoh di pemilu terakhir ada partai yang gencar menawarkan program: bebas pajak bermotor kendaraan roda dua. Sepertinya program yang tampak prorakyat itu berhasil juga mendongkrak suara. Karena itu partai pun seakan enggan menjalankan pendidikan politik dan demokrasi pada rakyat. Partai memanfaatkan ketidaktahun rakyat untuk kepentingannya sendiri. Pemilih tak diinginkan menjadi rasional, agar bisa dimanfaatkan sisi emosionalnya saja.

Ketiga, perilaku korup. Partai politik masih menjadi penghasil koruptor yang produktif. Saya rasa perlu dibuat aturan yang mengaitkan hukuman bagi politisi yang korup dengan partainya, misalnya memotong dana parpol partai yang bersangkutan. Bila perlu ada sanksi hingga pembubaran partai. Selain tentu yang sudah banyak diusulkan yaitu memperkuat KPK dan memperberat hukumannya. Ironis memang. Reformasi lahir salah satunya karena kemarahan kita pada perilaku korup, tapi reformasi tercoreng juga oleh perilaku korup politisi yang justru menikmati iklim demokrasi yang dibawa oleh reformasi itu.

Di Pemilu 2019, ada partai baru, partai anak muda, yang meskipun tak lolos ambang parlementer, cukup berhasil mencuri wacana. Saya yakin, seperti PK di pemilu 1999, PSI akan banyak mendapat dukungan di pemilu selanjutnya. Kebuntuan kaderisasi di partai-partai mapan bisa sepenuhnya dijawab oleh partai anak muda ini.

Sudah saatnya partai-partai berbenah memperkuat basis ideologis masing-masing. Partai dibentuk bukan hanya untuk ikut-ikutan menjadi bagian dari kekuasaan, apalagi jika ikut menumpang sebagai penumpang gelap. Dan terakhir, partai harusnya menjadi ujung tombak penjaga komitmen perang melawan korupsi. 

Hari-hari ini, saya ingin merasakan lagi, pembicaraan seperti rapat-rapat BPUPKI, tapi yang dibicarakan adalah masa depan Indonesia, pilihan-pilihan apa yang terbaik bagi negeri yang ikut diperjuangkan kemerdekaannya oleh kakekku yang namanya tercantum di Monumen Perjuangan Peristiwa Merah Putih di Sanga-sanga, Kalimantan Timur. - Hasan Aspahani.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Viral

Lihat semua